NPM : 1A113706
Kelas : 2KA24
KONFLIK ORGANISASI
DEFINISI KONFLIK
Stephen Robbins
dalam bukunya Organization Behavior (1996) mendefiniskan Konflik adalah Suatu
proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa suatu pihak merasakan pihak lain telahmempengaruhi secara negatif,
atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan pihak
pertama. Sementara Wirawan dalam bukunya
tentang Manajemen Konflik (2010) mendefiniskan konflik adalah proses pertentangan
yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung
mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang
menghasilkan keluaran konflik.
Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi dikarenakan adanya proses yang
terjadi di kedua belah pihak yang masing-masing pihak terpengaruh secara
negatif yang menimbulkan pertentangan di antara kedua belah pihak. Konflik di
Cikeusik Padeglang Banten dan Konflik di Temanggung serta konflik-konflik lain
yang ada di Indonesia lebih dikarenakan adanya proses terjadinya konflik yaitu
adanya pertentangan, kalau di Cikeusik antara Pihak Ahmadiyah dan sekelompok
oknum umat muslim, dan di Temanggung antara sekelompok oknum umat muslim yang
tidak setuju atas vonis pengadilan sehingga menimbulkan amarahan dengan cara
membakar sekolah kristen dan gereja.
JENIS KONFLIK
Terdapat berbagai
macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat
klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang
membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.
a. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur
Organisasi
Jenis konflik ini
disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam
struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis
konflik tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki
kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan
bawahan.
2.
Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar
karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3.
Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi
sebagai penasehat dalam organisasi.
4.
Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu
peran yang saling bertentangan.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima
macam , yaitu:
1.
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan
yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman, adalah
frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan .
2.
Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu
yang satu dengan individu yang lain.
3.
Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
4.
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini
terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan
masing-masing berupaya untuk mencapainya. Masalah ini terjadi karena pada saat
kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka
makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka,
dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan .
5.
Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam
perebutan sumberdaya yang sama.
CIRI-CIRI KONFLIK :
Menurut Wijono(
1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1.
Setidak-tidaknya
ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu
interaksi yang saling bertentangan.
2.
Paling
tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok
dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai
atau norma yang saling berlawanan.
3.
Munculnya
interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak
lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab,
pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau
pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri,
kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4.
Munculnya
tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut.
5.
Munculnya
ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri,
prestise dan sebagainya.
PENYEBAB KONFLIK
Konflik di dalam
organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh
atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang
mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena
ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental,
sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor
Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya
Apabila sumberdaya
baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka
dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya
konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi
Tiap-tiap unit
dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya.
Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya,
unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih
menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan
tujuan untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas
Konflik terjadi
karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja
dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi
Suatu kelompok
tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang
tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka
mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer
senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.
5.Kekaburan yurisdiksional
Konflik terjadi
karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang
tindih.
6.Masalah “status”
Konflik dapat
terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan
status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang
mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7.Hambatan komunikasi
Hambatan
komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan
dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen. (Jika Anda ingin mendapatkan
slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development,
.
AKIBAT-AKIBAT KONFLIK
Konflik dapat
berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik
tersebut.
Akibat negatif
• Menghambat
komunikasi.
• Mengganggu kohesi
(keeratan hubungan).
• Mengganggu
kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses
produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau
personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan
kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.
Akibat Positif
• Membuat organisasi
tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan
adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan
prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan
keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan
persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
SUMBER KONFLIK
Ada beberapa hal
yang merupakan sumber konflik adapun konflik itu terjadi di tengah masyarakat
disebabkan :
1.
Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia
adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di
lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada
yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit
banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki
perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab
itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang
sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan
kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan
sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga
harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena
dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi
para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan,
hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas
terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara
kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan
pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para
buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta
volume usaha mereka.
4.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik
sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses
industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai
lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu
seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah
yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser
menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
METODE PENGELOLAAN KONFLIK
1. Metode
Stimulasi Konflik
Metode stimulasi
konflik digunakan untuk menimbulkan rangsangan karyawan karena karyawan pasif
yang disebabkan oleh situasi dimana konflik terlalu rendah. Rintangan semacam
ini harus diatasi oleh manajer untuk merangsang konflik yang produktif.
Metode stimulasi
konflik meliputi :
1) pemasukan
atau penempatan orang luar ke dalam
kelompok
2) penyusunan
kembali organisasi,
3) penawaran bonus,
pembayaran intensif dan penghargaan untuk mendorong persiapan,
4) pemilihan
manajer-manajer yang tepat dan
5) perlakuan yang
berbeda dengan kebiasaan.
2. Metode
Pengurangan Konflik
Biasanya para
manajer lebih mementingkan upaya mengurangi konflik dari pada upaya
menstimulasi konflik-konflik. Metode pengurangan konflik mengurangi antagonisme
yang timbul karena konflik. Jadi, metode-metode tersebut manajer konflik dengan
jalan “mendinginkan situasi yang panas”. Tetapi, mereka sama sekali tidak
mempersoalkan kausa yang menyebabkan timbulnya konflik orisinal tersebut.
Ingat contoh
eksperimen yang dilakukan oleh sherief dan kawan-kawannya, yang suatu konflik pada kamp anak-anak muda
tersebut menjadi makin intensip dan disruptif, menerapkan eksperimen-eksperimen
berupa penerapan mereka aneka macam cara untuk mengembalikan harmoni antara
kelompok-kelompok yang ada.
Pertama-tama mereka
mencoba menerapkan tiga macam metode yang ternyata tidak efektif sama sekali.
Mereka menyediakan
informasi kepada masing-masing kelompok tentang kelompok lain. Akan tetapi
tersebut demikian bertentangan dengan impresi negatif yang telah muncul dalam
pikiran-pikiran anak-anak muda tersebut, sehingga mereka menolaknya
Mereka memperbanyak
kontak-kontak yang menyenangkan antara kelompok-kelompok yang ada, dengan jalan menyuruh mereka makan bersama dan
menonton film, tetapi ternyata friksi semakin meningkat, sewaktu
kelompok-kelompok yang bersaing mendesak-desak anggota lain dari bangku-bangku
duduk, dan mereka saling mengejek.
Mereka meminta agar
para pemimpin kelompok mengadakan perundingan dan memberikan informasi positif
tentang masing-masing kelompok yang ada. Tetapi ternyata bahwa para pemimpin
tersebut merasa bahwa mereka akan kehilangan muka apabila mereka mencoba
menyelesaikan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada.
Akhirnya ternyata
bahwa dua buah metode yang diterapkan memberikan hasil yang diharapkan.
Pada pendekatan
pertama yang bersifat efektif, para periset mensubtitusi tujuan-tujuan luhur
(superior) yang diterima oleh kelompok-kelompok yang ada sebagai pengganti
tujuan-tujuan kompetitif yang menyebabkan mereka terpisah satu sama lain.
Sebagai contoh dikatakan kepada anak-anak muda tersebut bahwa kamp tersebut
tidak mampu menyewa project film dari luar, karena kekurangan dana. Spontan
kedua kelompok berpatungan dalam hal pengumpulan uang untuk tujuan tersebut dan
ternyata bahwa upaya bersama mereka berhasil meredakan tingkat konflik yang
terjadi.
Metode efektif
kedua adalah mempersatukan kelompok-kelompok yang ada dengan jalan mengadakan
menghadapkan mereka dengan sebuah bahaya yang mengancam mereka semua atau
‘musuh’ bersama yang dihadapi oleh
mereka.
Kelompok-kelompok
secara terpisah, tidak mampu menarik truk yang mengangkut mereka ketempat
reparasi, tetapi, dengan bekerja sama hal itu dapat dilaksanakan dengan
baiknya. Tindakan kerjasama dan sikap persahabatan antara anggota-anggota
kelompok yang ada.
Metode ini
mengurangi permusuhan (antagonis) yang ditimbulkan oleh konflik dengan
mengelola tingkat konflik melalui pendinginan suasana akan tetapi tidak
berurusan dengan masalah yang pada awalnya menimbulkan konflik itu.
Metode pertama
adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih
bisa diterima kedua kelompok metode kedua mempersatukan kelompok tersebut untuk
menghadapi ancaman atau musuh yang sama.
3. Metode
Penyelesaian Konflik
Metode ini dapat
terjadi melalui cara-cara
1) kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan
otokratik;
2) penenangan (smolling) yaitu cara yang lebih diplomatis;
3) penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindari untuk mengambil posisi yang
tegas;
4) penentuan
melalui suara terbanyak (majority rule)
mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok prosedur yang adil.
Keberadaan teori
konflik muncul setelah fungsionalisme, namun sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap
kritis terhadap Marxisme Ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan
tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperality coordinated
association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan,
daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja dari pada modal dan buruh.
Dahendorf menolak
utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial
secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi
terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang
memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia
kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana,
istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi
yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan
(power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan
merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan
kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh
sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan ‘authority” dimana, beberapa posisi
mempunyai hak normatif untuk menentukan
atau memperlakukan yang lain, sehingga
tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses penciptaan
hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi
yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah
sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.
Revolusi dan
konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan atau
wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam
sistem sosial. Selanjutnya kelompok peran baru memegang kunci kekuasaan dan
wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi
kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang
mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam
kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif
kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda.
sehingga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik
wewenang dalam bermacam-macam tipe
kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial
dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan
kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan
kekuasaan.
TEORI-TEORI MOTIVASI
Secara garis besar,
teori motivasi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu teori motivasi dengan
pendekatan isi/kepuasan (content theory), teori motivasi dengan pendekatan
proses (process theory) dan teori motivasi dengan pendekatan penguat
(reinforcement theory).Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi)
seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam
melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu
sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat
motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas
perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya
tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan
dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks
studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
1. Durasi kegiatan
2. Frekuensi kegiatan
3. Persistensi pada kegiatan
4. Ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam
mengahadapi rintangan dan kesulitan;
5. Devosi dan pengorbanan untuk mencapai
tujuan
6. Tingkat aspirasi yang hendak dicapai
dengan kegiatan yang dilakukan
7. Tingkat kualifikasi prestasi atau produk
(out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan
8. Arah sikap terhadap sasaran kegiatan
Untuk memahami
tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi,
antara lain :
• Teori
Hierarki Kebutuhan Maslow
Kebutuhan dapat
didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara
satu kenyataan dengan dorongan yang ada dalam diri. Apabila pegawai
kebutuhannya tidak terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku
kecewa. Sebaliknya, jika kebutuhannya terpenuhi amak pegawai tersebut akan
memperlihatkan perilaku yang gembira sebagai manifestasi dari rasa puasnya.
Kebutuhan merupakan
fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak mungkin memahami
perilaku tanpa mengerti kebutuhannya.
Abraham Maslow
(Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah
sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk
makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling
dasar
2. Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan
perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup
3. Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial),
yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan
kebutuhan untuk mencintai serta dicintai
4. Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan
untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain
5. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu
kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill dan potensi. Kebutuhan untuk
berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan kritik terhadap sesuatu
• Teori
Keadilan
Keadilan merupakan
daya penggerak yang memotivasi semangat
kerja seseorang, jadi perusahaan harus bertindak adil terhadap setiap
karyawannya. Penilaian dan pengakuan mengenai perilaku karyawan harus dilakukan
secara obyektif. Teori ini melihat perbandingan seseorang dengan orang lain
sebagai referensi berdasarkan input dan juga hasil atau kontribusi
masing-masing karyawan (Robbins, 2007).
• Teori X dan
Y
Douglas McGregor
mengemukakan pandangan nyata mengenai manusia. Pandangan pertama pada dasarnya
negative disebut teori X, dan yang kedua pada dasarnya positif disebut teori Y
(Robbins, 2007).
McGregor
menyimpulkan bahwa pandangan manajer
mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan
bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut.
• Teori
dua Faktor Herzberg
Teori ini
dikemukakan oleh Frederick Herzberg dengan asumsi bahwa hubungan seorang
individu dengan pekerjaan adalah mendasar dan bahwa sikap individu terhadap
pekerjaan bias sangat baik menentukan keberhasilan atau kegagalan. (Robbins,
2007).
Herzberg memandang
bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bawa
ketidakpuasan kerja berasal dari
ketidakberadaan faktor-faktor ekstrinsik. Faktor-faktor ekstrinsik
(konteks pekerjaan) meliputi :
1. Upah
2. Kondisi kerja
3. Keamanan kerja
4. Status
5. Prosedur perusahaan
6. Mutu penyeliaan
7. Mutu hubungan interpersonal antar sesama
rekan kerja, atasan, dan bawahan
Keberadaan
kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka.
Tetapi ketidakberadaannya menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan, karena
mereka perlu mempertahankan setidaknya suatu tingkat ”tidak ada kepuasan”,
kondisi ekstrinsik disebut ketidakpuasan,atau faktor hygiene.
Faktor Intrinsik
meliputi :
1. Pencapaian prestasi
2. Pengakuan
3. Tanggung Jawab
4. Kemajuan
5. Pekerjaan itu sendiri
6. Kemungkinan berkembang.
Tidak adanya
kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi
jika ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja
yang baik. Oleh karena itu, faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai pemuas
atau motivator.
• Teori
Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan
McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan kawan-kawannya. Teori ini
berfokus pada tiga kebutuhan, yaitu (Robbins, 2007) :
a. Kebutuhan pencapaian (need for achievement)
: Dorongan untuk berprestasi dan mengungguli, mencapai standar-standar, dan
berusaha keras untuk berhasil.
b. Kebutuhan akan kekuatan (need for pewer) :
kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka
tidak akan berperilaku sebaliknya.
c. Kebutuhan hubungan (need for affiliation) :
Hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.
Apa yang tercakup
dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor
internal adalah :
a. Persepsi seseorang mengenai diri sendiri
b. Harga diri
c. Harapan pribadi
d. Kebutuhaan
e. Keinginan
f. Kepuasan kerja
g. Prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor
eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
a. Jenis dan sifat pekerjaan
b. Kelompok kerja dimana seseorang bergabung
c. Organisasi tempat bekerja
d. Situasi lingkungan pada umumnya
e. Sistem imbalan yang berlaku dan cara
penerapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar